Selesai membaca hasil labku yang terbaru, tiba-tiba dokter itu menatapku dalam. Aku tersenyum. Dia menatapku semakin dalam. Tak lama kemudian, meluncurlah kalimat panjang yang seolah menjadi pengantar bayanganku tentang sesuatu: ... kematian.
“Kamu punya Askes? Kerja di mana? Ada jaminan kesehatan nggak? Dengarkan baik-baik, kamu harus menjalani cuci darah dua kali seminggu. Satu kali cuci darah 600.000 rupiah. Artinya, kamu harus sedia minimal 4.800.000 rupiah setiap bulan. Kalau tidak, kamu akan mengalami komplikasi penyakit sampai koma dan bisa berakibat kematian, gimana?”Aku, perempuan muda usia, yang datang sendiri ke rumah sakit dengan keyakinan bahwa penyakitku masih bisa diobati dengan minum obat secara rutin, tiba-tiba mendengar istilah baru bernama cuci darah.Ya Tuhan, apa lagi ini? Jenis pengobatan macam apa ini? Mengapa begitu mahal?
Apakah tidak ada alternatif lain? Sudah sedemikian parahkah penyakitku ini?Segala hal tentang kematian tiba-tiba menggantung di pelupuk mataku. Kucoba menahan bulir bening itu turun dengan mengangkat wajah sambil menatap gambar-gambar yang menempel di dinding....
Tidak mungkin aku menjalani cuci darah yang demikian mahal. Membayangkannya pun bahkan aku tak sanggup. Yang terngiang di telingaku hanyalah ungkapkan sang dokter: cuci darah atau mati.
Persepsi Seorang Pesakit
Saya menghabiskan bacaan buku 138 halaman ini dalam masa beberapa jam, di dalam sela menolong pesakit yang memerlukan.
Apa yang menarik, penulisnya memaparkan persepsi seorang pesakit apabila dia disahkan harus menghadapi terapi cuci darah 2 kali seminggu.
Seperti dihukum mati rasanya.
"Hidupku hanya tinggal kematian, begitu fikirku!"
Hanya satu hal yang ingin kukatakan saat itu.
"Doktor, tidak bolehkah anda memberikan sedikit harapan untuk seseorang yang harus menghadapi kematian ketika teman-temannya sedang mencipta mimpi untuk masa depan?"
Ini bahasa difikirkan di benak si pesakit sewaktu diperdengarkan hasil lab darah.
Fikiran Seorang Doktor
Sewaktu berada di bahagian Ilmu Penyakit Dalam (Internal Medicine), pesakit-pesakit yang harus menjalani hemodialisis sering saya ketemui.
Sering yang sudah berusia, namun ada juga yang muda belia.
Saya terkesima sekilas mendengar curahan hati, yang dipotretkan dalam buku ini terhadap seorang doktor.
Si doktor dianggap kurang memerhatikan aspek psikologi pesakit dalam kondisi ini.Bicara fakta dalam mendedahkan diagnosis penyakit, diolah dengan bahasa kosong, kering emosi dan empati.
Pesakit yang sudah gundah gulana, bertambah sesak dadanya memikirkan maut nan menjelma.
Si doktor tidak menggayakan bahasa yang lebih bernada empatis. Setidaknya motivasi diberikan, kerana harapan itu sentiasa ada.
Pengajaran yang ditempa dari buku ini sangat mengesankan.
Saya pasrah dengan kudrat diri seorang manusia. Ada batas penghadang, ada ruang tidak dapat dijangkau.
Walau sering berhadap pesakit yang berpenyakit sama, kematian sering di depan mata, jangan sesekali mati rasa.
Layanlah pesakit sebagaimana diri mahu dilayani dan dihormati.
Kerna mereka dan diriku adalah sama-sama manusia, di alam kelana sementara.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan